Pengembangan Kurikulum MI di Indonesia
Oleh :Nurul Ismawati
Salah satu komponen penting dari sistem pendidikan adalah
kurikulum, karena kurikulum merupakan komponen pendidikan, baik oleh pengelola
maupun penyelenggara, khususnya oleh guru dan kepala sekolah. Kurikulum dibuat
secara sentralistik, oleh karena itu setiap satuan pendidikan diharuskan untuk
melaksanakan dan mengimplementasikannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan
petunjuk teknis yang disusun oleh pemerintah pusat.
Pengembangan kurikulum adalah proses perencanaan dan penyusunan kurikulum oleh pengembang kurikulum (curriculum developer) dan kegiatan yang dilakukan agar kurikulum yang dihasilkan dapat menjadi bahan ajar dan acuan yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.[1] Berikut adalah Perkembangan Kurikulum MI Di Indonesia :
A. Kurikulum 1947
Kurikulum pertama pada masa kemerdekaan namanya
Rencana Pelajaran 1947. Ketika itu penyebutannya lebih populer menggunakan leer
plan (rencana pelajaran) ketimbang istilah curriculum dalam bahasa Inggris.
Rencana Pelajaran 1947 bersifat politis, yang tidak mau lagi melihat dunia
pendidikan masih menerapkan kurikulum Belanda, yang orientasi pendidikan dan
pengajarannya ditujukan untuk kepentingan kolonialis Belanda. Asas pendidikan
ditetapkan Pancasila. Situasi perpolitikan dengan gejolak perang revolusi, maka
Rencana Pelajaran 1947, baru diterapkan pada tahun 1950. Oleh karena itu
Rencana Pelajaran 1947 sering juga disebut kurikulum 1950. Susunan Rencana
Pelajaran 1947 sangat sederhana, hanya memuat dua hal pokok, yaitu daftar mata
pelajaran dan jam pengajarannya, serta garis-garis besar pengajarannya. Rencana
Pelajaran 1947 lebih mengutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara, dan
bermasyarakat, daripada pendidikan pikiran. Materi pelajaran dihubungkan dengan
kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian, dan pendidikan jasmani. Mata
pelajaran untuk tingkat Sekolah Rakyat ada 16, khusus di Jawa, Sunda, dan
Madura diberikan bahasa daerah. Daftar pelajarannya adalah Bahasa Indonesia,
Bahasa Daerah, Berhitung, Ilmu Alam, Ilmu Hayat, Ilmu Bumi, Sejarah, Menggambar,
Menulis, Seni Suara, Pekerjaan Tangan, Pekerjaan Keputrian, Gerak Badan,
Kebersihan dan Kesehatan, Didikan Budi Pekerti, dan Pendidikan Agama. Pada
awalnya pelajaran agama diberikan mulai kelas IV, namun sejak 1951 agama juga
diajarkan sejak kelas 1. Garis-garis besar pengajaran pada saat itu menekankan
pada cara guru mengajar dan cara murid mempelajari. Misalnya, pelajaran bahasa
mengajarkan bagaimana cara bercakap-cakap, membaca, dan menulis. Ilmu Alam
mengajarkan bagaimana proses kejadian sehari-hari, bagaimana mempergunakan
berbagai perkakas sederhana (pompa, timbangan, manfaat bes berani), dan
menyelidiki berbagai peristiwa sehari-hari, misalnya mengapa lokomotif diisi
air dan kayu, mengapa nelayan melaut pada malam hari, dan bagaimana menyambung
kabel listrik. Pada perkembangannya, rencana pelajaran lebih dirinci lagi
setiap pelajarannya, yang dikenal dengan istilah Rencana Pelajaran Terurai
1952. “Silabus mata pelajarannya jelas sekali. Seorang guru mengajar satu mata
pelajaran”. Pada masa itu juga dibentuk Kelas Masyarakat. yaitu sekolah khusus
bagi lulusan SR 6 tahun yang tidak melanjutkan ke SMP. Kelas masyarakat
mengajarkan keterampilan, seperti pertanian, pertukangan, dan perikanan.
Tujuannya agar anak tak mampu sekolah ke jenjang SMP, bisa langsung bekerja.
KELEBIHAN KURIKULUM 1947
- Mencerminkan kesadaran sebagai bangsa yang berdaulat, dan mendudukkan pendidikan sebagai faktor penting dalam memperkokoh berdirinya negara Indonesia melalui persatuan dan kesatuan untuk mengusir penjajah.
- Memiliki fungsi strategis dalam mempersatukan bangsa Indonesia melalui pendidikan
- Kurikulum 1947 mengadopsi dari pengalaman pendidikan Indonesia yang telah lalu dimas penjajahan, sehingga memudahkan dalam penyusunannya.
KELEMAHAN KURIKULUM 1947
- Dibayang-bayangi pendidikan jaman penjajahan, sehingga mengarah pada pola pengajaran penjajah.
- Belum memiliki orientasi ranah kognitif dan psikomotor namun lebih dominan ranah afektif
- Belum diterapkan di sekolah-sekolah sehingga belum memberikan dampak pada terlaksananya pendidikan dan terbentuknya bangsa Indonesia hingga secara resmi dilaksanakan pada tahun 1950[2]
B.
Kurikulum 1952
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang
disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. “Silabus mata pelajarannya jelas sekali.
seorang guru mengajar satu mata pelajaran,” kata Djauzak Ahmad, Direktur
Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991-1995. Ketika itu, di usia 16 tahun
Djauzak adalah guru SD Tambelan dan Tanjung Pinang, Riau. Di penghujung era
Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokusnya
pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Pancawardhana).
Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral,
kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah.
Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional
praktis.
KELEBIHAN KURIKULUM 1952
- Kurikulum 1952 telah mengarah pada sistem pendidikan nasional, walaupun belum merata pada seluruh wilayah di Indonesia, namun dapat mencerminkan suatu pemahaman dan cita-cita para praktisi pendidikan akan pentingnya pemerataan pendidikan bagi seluruh bangsa Indonesia.
- Pada Kurikulum 1952, materi pelajaran sudah berorientasi pada kebutuhan hidup para siswa, sehingga hasil pembelajaran dapat berguna ketika ditengah masyarakat.
- Karena setiap guru mengajar satu mata pelajaran, maka memiliki keuntungan untuk lebih menguasai bidang pengajarannya dengan lebih baik, dari pada mengajar berbagai mata pelajaran.
KELEMAHAN KURIKULUM 1952
- Karena kurikulum 1952 baru mengarah pada sistem pendidikan nasional, maka belum mampu menjangkau seluruh wilayah Indonesia.
- Materi pelajaran belum orientasi masa depan, karena yang diajarkan berorientasi kebutuhan untuk hidup dimasyarakat saat itu, dengan demikian belum memiliki visi kebutuhan dimasa mendatang.
- Kurang membangkitkan kreatifitas dan inovasi guru, karena setiap mata pelajaran sudah terinci dalam rencana pelajaran terurai, hal ini mempersempit kreatifitas dan inovasi guru baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun menentukan sumber materi pelajaran[3]
C. Kurikulum 1968
Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti
Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Tujuannya
pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan
organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar,
dan kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya 9. Djauzak menyebut Kurikulum 1968
sebagai kurikulum bulat. “Hanya memuat mata pelajaran pokok-pokok saja,”
katanya. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tak mengaitkan dengan
permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang
tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan.
KELEBIHAN KURIKULUM 1968
- Kurikulum 1968 dibuat untuk menjadi pedoman penyelenggaraan pendidikan secara nasional, namun penerapannya di daerah (di sekolah) diberi kebebasan menurut situasi dan kondisi daerah atau sekolah yang bersangkutan.
- Kurikulum 1968 telah dikembangkan dalam nuansa otonomi dimana semua komponen kurikulum dilaksanakan oleh sekolah.
- Sistem pembelajaran di ruangan kelas diserahkan kepada masing-masing guru, yang penting tujuan pendidikan dapat tercapai.
- Kurikulum ini berupaya mendorong pengembangan kreativitas dan persaingan kompetitif diantara daerah, sekolah, dan guru untuk mengembangkan kurikulum.
- Kurikulum ini memberikan peluang bagi tamatan sekolah untuk melanjutkan pendidikannya pada jenjang yang lebih tinggi.
KELEMAHAN KURIKULUM 1968
- Walaupun sudah ada pembelajaran keterampilan namun pada prakteknya kurikulum ini masih kurang memperhatikan pembelajaran praktek.
- Kurikulum ini tidak mengadopsi kebutuhan masyarakat, sehingga pembelajaran di sekolah tidak dapat memenuhi kebutuhan riil dalam kehidupan anak.
- Kurikulum ini yang masih di pengaruhi unsur politis sehingga tidak mengakar pada kebutuhan hidup anak secara individual.[4]
D. Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan
lebih efisien dan efektif. “Yang melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di
bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu,”
kata Drs. Mudjito, Ak, MSi, Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas. Metode,
materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem
Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu
rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk
umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran,
kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru
dibikin sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan
pembelajaran.
KELEBIHAN KURIKULUM 1975
- Berorientasi pada tujuan
- Mengarah pembentukan tingkah laku siswa
- Relevans dengan kebutuhan masyarakat
- Menggunakan pendekatan psikolog
- Menekankan efektivitas dan efisiensi
- Menekankan fleksibilitas yaitu mempertimbangkan faktor- faktor ekosistem dan kemampuan penyediaan fasilitas yang menunjang terlaksananya program.
- Prinsip berkesinambungan [5]
KELEMAHAN KURIKULUM 1975
- Terdapat ketidakserasian antara materi kurikulum berbagai bidang studi dengan kemampuan anak didik
- Terdapat kesenjangan antara program kurikulum dan pelaksanaannya di sekolah
- Terlalu padatnya isi kurikulum yang harus diajarkan hampir di setiap jenjang.
- Guru dibuat sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.
- Pada kurikulum ini menekankan pada pencapaian tujuan pendidikan secara sentralistik, sehingga kurang memberi peluang untuk berkembangnya potensi daerah.
- Kurikulum ini berorientasi pada guru hal ini membentuk persepsi bahwa guru yang mendominasi proses pembelajaran, metode-metode ceramah dan metode dikte menonjol digunakan oleh para guru.
- Kreativitas murid kurang berkembang karena didukung oleh konsep kurikulum yang menempatkan guru sebagai subjek dalam melakukan pembelajaran di kelas.[6]
E. Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski
mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini
juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Posisi siswa
ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan,
mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif
(CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). Tokoh penting dibalik lahirnya
Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas
periode 1980-1986 yang juga Rektor IKIP Jakarta sekarang Universitas Negeri
Jakarta periode 1984-1992. Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan
bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi
dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang
mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas
lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar, dan yang menyolok
guru tak lagi mengajar model berceramah. Penolakan CBSA bermunculan.
KELEBIHAN KURIKULUM 1984
- Kurikulum ini memuat materi dan metode yang disebut secara rinci, sehingga guru dan siswa mudah untuk melaksanakannya.
- Prakarsa siswa dapat lebih dalam kegiatan belajar yang ditunjukkan melalui keberanian memberikan pendapat.
- Keterlibatan siswa di dalam kegiatan- kegiatan belajar yang telah berlangsung yang ditunjukkan dengan peningkatan diri dalam melaksanakan tugas.
- Anak dapat belajar dari pengalaman langsung langsung.
- Kualitas interaksi antara siswa sangt tinggi, baik intelektual maupun sosial.
- Memasyarakatkan keterampilan berdiskusi yang diperlukan dengan berpartisipasi secara aktif
KELEMAHAN KURIKULUM 1984
- Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar, dan yang menyolok.
- Adanya ketergantungan pada guru dan siswa pada materi dalam suatu buku teks dan metode yang disebut secara rinci, sehingga membentuk guru dan siswa tidak kreatif untuk menentukan metode yang tepat dan memiliki sumber belajar sangat terbatas.
- Dapat didominasi oleh seorang atau sejumlah siswa sehingga dia menolak pendapat peserta lain.
- Siswa yang pandai akan bertambah pandai sedangkan yang bodoh akan ketinggalan.
- Peranan guru yang lebih banyak sebagai fasilitator, sehingga prakarsa serta tanggung jawab siswa atau mahasiswa dalam kegiatan belajar sangat kurang.
- Diperlukan waktu yang banyak dalam pembelajaran menyebabkan materi pelajaran tidak dapat tuntas dikuasai siswa.
- Guru kurang komunikatif dengan siswa.
F. Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum
1999
Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya
memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. “Jiwanya ingin mengkombinasikan
antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, antara pendekatan proses,” kata
Mudjito menjelaskan. Sayang, perpaduan tujuan dan proses belum berhasil. Kritik
bertebaran, lantaran beban belajar siswa dinilai terlalu berat. Dari muatan
nasional hingga lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah
masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan
lain-lain. Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesakkan
agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Walhasil, Kurikulum 1994 menjelma
menjadi kurikulum super padat. Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti
kehadiran Suplemen Kurikulum 1999. Tapi perubahannya lebih pada menambal
sejumlah materi
KELEBIHAN KURIKULUM 1994
- Kurikulum berstandar nasional dan memberikan ruang untuk pengembangan potensi wilayah.
- Mampu mengadopsi aspirasi berbagai pihak yang berhubungan dengan isu-isu yang berkembang di masyarakat.
- Dalam pelaksanaan pembelajaran guru memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk dapat mengembangkan kemampuan masing-masing dengan beberapa alternatif.
- Terdapat keserasian antara teori dan praktek, sehingga mengembangkan ketiga ranah yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor[7]
KELEMAHAN KURIKULUM 1994
- Kritik bertebaran, lantaran beban belajar siswa dinilai terlalu berat.
- Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesakkan agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Walhasil, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super pada
- Pendekatan penguasaan materi (content oriented) memberatkan siswa
- Beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya mata pelajaran dan banyaknya materi/substansi setiap mata pelajaran
- Materi pelajaran dianggap terlalu sukar karena kurang relevan dengan tingkat perkembangan berpikir siswa, dan kurang bermakna karena kurang terkait dengan aplikasi kehidupan sehari-hari.
- Kurikulum pendidikan agama tahun 1994 juga lebih menekankan materi pokok dan lebih bersifat memaksakan target bahan[8]
G.
Kurikulum 2004
Bahasa kerennya Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai berdasar kompetensi apakah yang mesti
dicapai siswa. Sayangnya, kerancuan muncul bila dikaitkan dengan alat ukur
kompetensi siswa, yakni ujian. Ujian akhir sekolah maupun nasional masih berupa
soal pilihan ganda. Bila target kompetensi yang ingin dicapai, evaluasinya
tentu lebih banyak pada praktik atau soal uraian yang mampu mengukur seberapa
besar pemahaman dan kompetensi siswa. Meski baru diujicobakan, toh di sejumlah
sekolah kota-kota di Pulau Jawa, dan kota besar di luar Pulau Jawa telah
menerapkan KBK. Hasilnya tak memuaskan. Guru-guru pun tak paham betul apa
sebenarnya kompetensi yang diinginkan pembuat kurikulum.
KELEBIHAN KURIKULUM 2004
- Pendidikan berbasis kompetensi menitikberatkan pada pengembangan kemampuan untuk melakukan (kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai dengan standard performance yang telah ditetapkan, sebagai upaya mempersiapkan kemampuan individu.
- Sejalan dengan visi pendidikan yang mengarahkan pada dua pengembangan yaitu untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan kebutuhan masa datang.
- Kompetensi dalam kurikulum ini cukup lengkap meliputi: kemampuan melakukan segala sesuatu dalam berbagai konteks, kompetensi menjelaskan pengalaman belajar, kompetensi hasil belajar, kompetensi yang dihasilkan terukur.
KELEMAHAN KURIKULUM 2004
- Kritik bertebaran, lantaran beban belajar siswa dinilai terlalu berat.
- Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesakkan agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum.
- Pendekatan penguasaan materi (content oriented) memberatkan siswa.
- Beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya mata pelajaran dan banyaknya materi/substansi setiap mata pelajaran.
- Materi pelajaran dianggap terlalu sukar karena kurang relevan dengan tingkat perkembangan berpikir siswa, dan kurang bermakna karena kurang terkait dengan aplikasi kehidupan sehari-hari.
- Kurikulum pendidikan agama tahun 1994 juga lebih menekankan materi pokok dan lebih bersifat memaksakan target bahan ajar.[9]
H. KTSP 2006
Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan. Muncullah Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan. Pelajaran KTSP masih tersendat. Tinjauan dari segi
isi dan proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis
evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang paling
menonjol adalah guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran
sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal
ini disebabkan karangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar
kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap
satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Jadi
pengambangan perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem
penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah
koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota.
KELEBIHAN KURIKULUM 2006
- Secara teori memberikan otonomi secara luas pada sekolah untuk mengembangkan kreativitas dan inovasinya dalam meningkatkan kualitas pendidikan sesuai dengan potensi di daerahnya.
- Tenaga kependidikan termotivasi untuk meningkatkan kreatifitas dan inovasi. untuk menggali potensi sekolah sehingga mampu menjadi agen bagi pembangunan masyarakat yang mengakar pada potensi lokal.
- Sekolah leluasa untuk ambil peranan dalam pendidikan untuk membentuk siswa sebagai pengambil peranan dalam masyarakat.
- Kurikulum ini memberikan kesempatan kepada para siswa untuk mengembangkan dirinya di luar sekolah, karana telah terjadi pengurangan kepadatan jam pelajaran
KELEMAHAN KURIKULUM 2006
- Banyak guru belum memahami hakekat dari kurikulum ini, akibatnya pembelajaran maupun administrasi guru hanya berubah nama dan istilah-istilah
- Belum ada kemampuan dari kalangan penyelenggara pendidikan, sehingga memungkinkan adanya kopi paste kurikulum yang sekedaar memenuhi persyaratan administrasi, dan aplikasinya pun masih tidak sesuai dengan yang dikehendaki.
- KTSP tidak dibarengi dengan tersedianya waktu, sarana, dan prasarana cukup bagi guru-guru untuk menerapkan segala ide-ide kreatifnya.
- Penilaian yang menekankan pada poroses ternyata tidak terlalu dihiraukan, buktinya Ujian Nasional yang merupakan penilaian hasil belajar verbal tertulis masih menjadi standar kelulusan yang dominan.[10]
[1] http://gledysapricilia.wordpress.com/study/sejarah-perkembangan-kurikulum-di-indonesia.html./ Di akses 26 desember 2012
[2] http://hafismuaddab.wordpress.com/2012/12/18/pengembangan-kurikulum-di-indonesia.html/ Di akses 26 desember 2012
[3] http://virtuallabphysics.blogspot.com/2011/01/macam-macam-kurikulum-di-indonesia.html.
Di akses 26 desember
2012
[4] http:// kangjumari.blogspot.com/27/12/kurikulum-di-indoonesia-pembahuruan.html.
Di akses 26 desember 2012
[5] http://ekagurunesama.blogspot.com/2012/01/sejarah-kurikulum-indonesia.html. Di akses 26 desember 2012
[6] http: //kesadaransejarah.blogspot.com./2007/11/kurikulum-pendidikan-kita.Html.
Di akses 26 desember 2012
[7] http://jofania.wordpress.com/2012/12/09/sejarah-kurikulum-di-indonesia/ Di
akses 26 desember 2012
[8]
http://andibagus.blogspot.com/2008/03/kurikulumm
–pendidikan-di-indonesia.html. Di akses 26 desember 2012
[9] http://alvyanto.blogspot.com/2010/04/perkembangan-kurikulum-indonesia-dari.html. Di akses 26 desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar